Membaca Al-Qur’an sebagaimana mestinya bukanlah suatu perkara yang instan, walaupun usaha mempercepat proses itu selalu ada. Maka hendaknya janganlah anda mudah macet dan merasa cukup diri. Seberat-berat dan seberapa lamanya belajar dan memperbaiki bacaan di dunia, masih ringan dan sebentar dari pada lamanya hisab dan beratnya siksaan di akherat bagi yang tidak mau mentajwidkan bacaan Al Qur’an.
Need cash for your home? Check out https://www.cash-buyers.net/nebraska/cash-buyers-for-houses-fremont-ne/ to connect with potential buyers.
Waffaqoniyalloohu wa iyyakum, esensi ibadah membaca Al-Qur’an itu “tashhihu qiro-atil huruuf” atau membikin tepat bacan hurufnya. Yakni masing-masing huruf bisa terbaca dengan betul, dengan semua hukum bacaannya menggunakan tajwid. Bukan membaca denga tergesa-gesa yang sehingga ada huruf yang terlipat atau samar dan kehilangan hak-hak bacaanya, atau dibuat gaya lagu yang merusak ketentuan bacaan dan kurang memelihara hukum-hukum tajwid. Karena menggunakan tajwid itu hukumnya fardhu ‘ain berdasarkan beberapa nash /dalil Al-Qur’an, Al-Hadist dan ijam’ul ummah.
Dalam kitab Nihayatul Qoul hal. 18:
Banyak sekali para pembaca sekarang yang berbuat bid’ah dalam bacaan Al-Qur’annya yang tidak diperbolehkan berlaku, adakalanya karena melebihi batas ketentuan seperti keterangan di atas, atau menguranginya. Demikian itu lantaran lagu-lagu yang ditujukan untuk memalingkan para pendengar biar terpikat dengan lagunya.
Menurut lmam Syafi’i, bacaan yang dilagukan boleh-boleh saja asal tidak keluar dari batas bacaan Al-Qur’an, jika sampai keluar maka hukumnya haram, menurut qoul lain makruh. Menurut Jumhur bukan hanya dua qoul tersebut, bahkan hukum makruh itu jika terlalu panjang bacaan madnya dan harokatnya sehingga fathah timbul alif, dhammah timbul wawu, kasroh timbul ya’, atau mengidghomkan tidak pada tempatnya.
Menurut Imam Nawawi:
“Yang sohih; bacaan yang keterlaluan itu hukumnya haram, qori’nya menjadi fasiq dan berdosa karena sudah menyimpang dari yang lurus. Inilah yang dikehendaki lmam Syafi’i makruh”.
Maka jelaslah bahwa bolehnya Al-Qur’an dilagukan itu dengan syarat tidak sampai ke terlaluan seperti tadi. Karena demikian itu berarti menambahi di dalam Al-Qur’an, adalah terlarang ghostwriter preise.
Bacaan Tahqiq dan Tartil
Al-Qur’an boleh dibaca tiga macam: dengan perlahan-perlahan, cukupan dan cepat yang masing-masing ini wajib memelihara hukum-hukum tajwid, tartil, dengan gaya bahasa (lisan) arab yang asli. Bacaan perlahan-lahan memuat cakupan bacaan tahqiq atau tartil, ukurannya sekira kalau ditulis bisa sama-sama tidak ketinggalan. Antara bacaan tahqiq dan tartil ini sementara ada perbedaannya.
Tahqiq artinya menyuguhkan dalam mendatangi haqiqatnya (semestinya) sesuatu sampai berhenti atau berhasil pada sesuatu itu. Bacaan tahqiq ini untuk menegakkan bacaan Al-Qur’an dengan setegak-tegaknya tartil. Jadi tahqiq itu pasti tartil, dan tartil itu belum pasti bisa dinamakan tahqiq. Bacaan tahqiq ini adalah bacaan yang terbaik untuk belajar (mengaji) dan melatih lisan. Akan tetapi, di dalam bacaan tahqiq ini harus bisa menjaga daripada melampaui batas-batas kepastian. Kalau tidak, maka bacaan tahqiq itu tidak akan bisa lurus, bahkan menjadi bacaan yang ketambahan bunyi lahn (kesalahan gramatikal berbentuk suara-suara tambahan yang tidak lurus yang harus dikontrol, dilatih dan dihilangkan) hausarbeit schreiben lassen.
Sesuatu yang terpadu dan tersistem secara konsisten, yakni melepaskan kata-kata dari mulut secara baik, teratur, dan konsisten disebut tartil. Membaca Al-Qur’an dengan tartil adalah kemampuan membaca Al-Qur’an dengan tenang perlahan-lahan, dan jelas hurufnya, dimana pendengarnya dapat mendengar dengan baik, dan sekaligus merenungkan maknanya. Seruan membaca Al-Qur’an dengan tartil pada dasarnya tertuju kepada Nabi SAW, lalu kepada umatnya yang bersifat mengikuti.
Bacaan Tadwir dan Hadr
Bacaan cukupan yakni tengah-tengah antara bacaan pelan-pelan dan cepat serta memelihara hukum-hukum tajwid itu dinamakan tadwir. Kemudian bacaan yang cepat itu dinamakan hadr. Cepatnya bacaan Al-Qur’an itu terbatas dikarenakan status kewajiban membaca Al-Qur’an dengan menggunakan tajwid. Maka jika membaca dengan cepat (bil hadr), genapnya huruf bisa terbaca semua (tidak sampai terlempit dan samar) ini adalah sebagai pusaka bacaan. Di lain itu, diutamakan menjaga hak-haknya bacaan, seperti bacaan mad, ghunnah izhhar, idghom, waqof, washol dan ibtida’nya. Semua harus bisa dipraktekkan menurut hukumnya masing-masing, tidak seperti yang berlaku oleh orang-orang bodoh atau orang-orang yang tidak memperhatikan wajibnya meluruskan bacaan, hanya mencari kuantitas membaca masih berembel-embel pahala juga harapan timbal balik di dunia Google Agentur.
Membaca cepat tiap-tiap satu huruf mendapat sepuluh kebaikan itu baik dan pahalanya lebih banyak, sesuai dengan jumlah huruf yang dibaca, akan tetapi membaca dengan tartil (perlahan-lahan) walaupun mendapat sedikit, itu lebih agung dan lebih tinggi derajatnya, sebab tujuan kelanjutan dari pada qiro’ah itu supaya bisa dipahami artinya untuk diamalkan maknanya. Kalau membacanya dengan cepat, sulit pikirannya bisa mengembangkan pemahaman arti Al-Qur’an yang dibaca. Maka tentang masalah ini yang paling tepat adalah menurut pendapatnya lmam Al-Ghozali di dalam kitab lhya’nya begini:
“Membaca dengan tartil itu tetap disunatkan walaupun tidak mengerti artinya, karena dengan membaca perlahan-lahan itu akan lebih bisa menghormat dan mengagungkan dan memuliakan Al-Qur’an dan bisa lebih mantap /lebih tertanam dirasakan di dalam hati, daripada membaca dengan cepat”.
Wal Hasil, semua bacaan Al-Qur’an (dengan tahqiq, tartil, tadwir dan hadr) itu wajib bertajwid semua. Dan telah menjadi ijma’nya para Ulama bahwa bacaan Al Qur’an yang tidak dengan tajwid itu bukan Al-Qur’an lagi.

KamalAssidiqi
Penulis di Huffadhkrapyak