Kang Ubaidur: “Khatam Sejak dalam Kandungan”

Kang Ubaidur: “Khatam Sejak dalam Kandungan”

Keberhasilan mengkhatamkan hafalan tidak akan dapat diraih dengan kondisi yang mapan, enak, dan santai. Semua itu perlu perjuangan dan pengorbanan. Seberapa payah kita berusaha, maka sejauh itulah apa yang nantinya kita dapat. Tekad menghafal Al-Quran merupakan keputusan besar yang menjadikan seseorang dituntut bertanggung jawab menjaganya sampai kapanpun.

Berapapun jumlah hafalannya, sama-sama harus tetap nderes dan menjaga hafalannya. Selain itu, perjuangan untuk merampungkan hafalan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada proses tahsin (memperbaiki bacaan), menghafal, semaan dan murojaah yang harus selalu istiqomah.

Belum lama ini, Kang Ubaidur Rohman berhasil merampungkan hafalannya tiga puluh juz lengkap dengan ujian tasmi’ nya (semaan glondong). Hafalan yang lancar serta minimnya kesalahan membuat proses tas’minya terbilang begitu cepat.

“Sudah khatam sejak dalam kandungan, khatam tanpa ngafal, dan lanyah tanpo nderes”
Begitulah celetukan teman-teman yang sering mengomentari Kang Ubaid, santri asal Demak, Jawa Tengah ini. Agaknya terlalu berlebihan soal komentar tersebut sebab setiap capaian yang dimiliki seseorang tidak mungkin ujug-ujug jadi, pasti ada momen dimana harus berjuang dan berkorban untuk meraihnya. Banyak tahapan yang harus dilalui seorang penghafal demi mematangkan bacaan dan hafalannya.

Sedari kecil Kang Ubaid sudah memiliki keinginan untuk menghafal Al-Qur’an. Selain karena didikan ibunya yang juga seorang hafidzah, dia juga sering diajak ke majlis-majlis tempat berkumpulnya para penghafal Al-Qur’an. “Ojo kuatir randue opo-opo yo nang, awakmu ngrumat Al-Qur’an ae Insyaallah ono dalane” begitulah pesan ibunya yang turut membuatnya termotivasi dan bertekad untuk menjadi seorang penghafal Al-Qur’an.

Sebelumnya sedikit cerita, “Saya memang sudah lama menghafal. Namun ketika berangkat ke Krapyak saya belum pernah khatam, bahkan dulunya setoran saja belum khatam. Banyak yang bilang ‘awakmu wes khatam enak tinggal nyetorne’. Sedikit ada rasa kesal kenapa mereka ceplas-ceplos bilang begitu.” curhat Kang Ubaid ketika diwawancarai. “Jangan melihat enaknya orang lain saat ini, karena pasti dulunya dia pernah merasakan rasa pahitnya sebelum berubah menjadi manis”. Kalimat itulah yang mungkin ingin ia sampaikan kepada teman-temannya.

Ujian dan cobaan tak lepas dari kisah hidupnya. Sejak usia tsanawiyah dia sudah terbiasa “dipaksa” untuk mengkhususkan waktu ngaji dan menghafal. Dia harus merampungkan target hafalan dan setoran ketika ingin melanjutkan kesibukan yang lain. Sering kali dia tidak diberi izin keluar untuk bermain dengan teman-temannya sebab akan membuatnya capek dan tidak bisa buat setoran.

Ketika masuk Madrasah Aliyah, Kang Ubaid menderita penyakit yang serius. Dia didiagnosa terkena SN (Sindrom Nefrotik). Lantaran itu, dia harus menjalani tiga kali opnam selama satu tahun di rumah sakit. Setelah itupun Kang Ubaid masih harus rutin check up bahkan hingga saat ini.

Menurutnya, ujian berupa sakit yang ia derita memberinya banyak peringatan agar lebih bersungguh-sungguh dalam menghafal. Ia masih kurang temenan, masih males-malesan meskipun ia telah berjanji dan bertekad untuk menghafal. Dia akhirnya sadar, ternyata “paksaaan” dari orang tuanya dulu banyak memberikan pengaruh positif, dan memunculkan kesadaran mandiri bagi dirinya.

“Jangan sia-sia kan waktu dan umurmu, terutama orang tuamu. Opo yo meh nunggu oleh cobaan lagi iso sadar (apa ya perlu nunggu diberi cobaan, baru bisa sadar)?”
Barang kali itulah dawuh yang selalu diugemi Kang Ubaid selama mondok dan menghafalkan Al-Qur’an. Dia memikili tanggung jawab yang besar untuk mewujudkan harapan orang tua dan cita-citanya. Oleh karenanya dia menjadi pribadi yang pantang untuk bersantai-santai jika tugas yang diemban belum selesai.