Jalan Taubat Ibrahim bin Adham

Ihwal masalah tawakal seringkali hanya berakhir konseptual tanpa membekas menjadi sebuah kebiasaan. Sejatinya tawakal menjadi label ukuran religiusitas seseorang, namun nyatanya karakter ini sulit untuk bisa mendarah daging terpatri kuat dalam keyakinan masing-masing orang. Sebagian kita masih sering menganggap usaha sebagai penentu utama kesuksesan sebuah rencana. Hal ini bisa dilihat dari rasa ketidakpuasan akan ikhtiar yang sudah diusahakan ataupun juga dengan hasil yang tidak sesuai dengan ekspektasi.
Tawakal bukan berarti diam berpangku tangan hingga alpa melakukan sesuatu, bukan juga mendewakan sebuah proses hingga lupa berdoa. Tawakal berarti memadukan ikhtiar dan doa agar saling melengkapi satu sama lain. Ikhtiar menjadi konsekuensi logis adanya sebuah hasil. Teringat dengan konsep hukum II Newton yang berbunyai, “Percepatan gerak sebuah benda (hasil) berbanding lurus dengan gaya yang diberikan (usaha).”
Adapun doa merupakan indikasi jika di luar setiap usaha ada dzat yang menentukan semua hal yang akan terjadi. Dengan doalah identitas kehambaan semakin kukuh.
Berbincang mengenai tawakal ada sebuah kisah menarik penuh hikmah yang patut dijadikan pepeling. Dalam Kitab Al-Mawa’izh Al-‘Usfuriyah, Syeikh Muhammad bin Abu Bakar Al-Ushfury mencantumkan kisah ini berkenaan dengan hadis pentingnya tawakal. Kisah ini menjadi sebab taubatnya bakal tokoh sufi besar. Dia ada Ibrahim bin Adham.
Suatu ketika Ibrahim bin Adham berangkat ke hutan untuk menangkap hewan buruan. Di sela-sela kegiatannya, ia rehat sejenak untuk menikmati bekal yang tadinya ia bawa. Ketika sedang asyik-asyiknya makan tiba-tiba ada burung gagak hinggap di depannya dan menyambar sebuah roti yang ada di antara barang-barang yang ia bawa. Sejenak kumudian, burung itu terbang sambil membawa roti dengan paruhnya.
Melihat kejadian itu, Ibrahim bin Adham heran dan penasaran. Ia putuskan untuk mengajar burung gagak dengan menaiki kudanya. Burung itu terbang terlampau tinggi menuju sebuah bukit. Sempat hilang dari pandangan nya. Ia akhirnya dapat menemukan burung gagak itu lagi setelah bersusah payah menaiki bukit.
Sejurus kemudian, Ibrahim bin Adham mencoba melihat burung itu dari kejauhan. la mencoba untuk mendekat, namun burung itu menyadari kedatangannya dan kemudian terbang lagi. Di saat itulah ia melihat pemandangan yang tak biasa. Dihadapannya kini ada seorang laki-laki vang tengah meringkuk dan tubuhnya terikat. Segera Ibrahim bin Adham melepas tali ikatan yang melilit tubuh laki-laki itu.
Usut punya usut ternyata laki-laki itu merupakan seorang pedagang. la bertemu sekelompok perampok saat melintasi hutan. Perampok itu merampas semua harta yang ia bawa, menyiksa, dan mengikat tubuhnya. Tak cukup dengan itu, ia juga dibuang di atas bukit.
Ia bercerita bahwa selama tujuh hari ada seekor burung gagak yang selalu datang memberikannya makan. Burung gagak itu datang membawa roti dan hinggap di atas tubuhnya yang terikat. Burung itu memotong-motong rotinya dan memasukkannya ke mulut laki-laki itu menggunakan paruhnya.
Mendengar penuturannya, Ibrahim bin Adham tersentak. Pedagang itu telah berhasil mengimplementasikan konsep tawakal secara utuh. Ia juga menegaskan jika Allah tak pernah mengabaikan dirinya. Terbukti dalam kondisi seperti itu Allah tidak membiarkan dirinya kelaparan.
Ibrahim bin Adham kemudian mengantarkan si pedagang pulang kerumahnya. Selepas kejadian itu, ia menyesali kelakuannya selama ini. la memutuskan untuk bertaubat dan melepas semua pakaian kebesarannya. Tanah yang ia miliki diwakafkan semua untuk kepentingan umat. Ia juga membebaskan seluruh budaknya.
Tak lama setelah itu, ia berangkat menuju tanah suci tanpa kendaraan dan membawa bekal sedikitpun. Dengan tawakal dan himmah yang tinggi ia sampai di tanah suci tanpa merasa lapar sekalipun ketika perjalanan. Di depan ka’bah ia bersyukur kepada Allah dan tak henti-hentinya memuji-Nya.
Betapa beruntungnya mereka yang bertaubat dan kembali kepada Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. (QS At-Thalaq:3).

ibnuhajar
Penulis di Huffadhkrapyak