Dilema Calon Penghafal Al-Qur’an

Dilema Calon Penghafal Al-Qur’an

Memiliki tekad untuk menghafal Al-Qur’an merupakan sebuah anugerah yang besar, terlebih jika tekad itu direalisasikan dengan melewati tahapan dan proses sebagai mestinya seorang penghafal. Namun tak jarang, sebagian orang dihadapkan dengan keputusan dilematis di saat akan memulai menghafal.

Kerapkali “suara sumbang” menghantui pikiran mereka. Mereka beranggapan jika seorang penghafal Al-Qur’an memiliki beban dan resiko yang tak mudah. Salah satunya ialah bila seorang penghafal lupa akan hafalannya maka dia berdosa, bahkan termasuk dosa besar.

Anggapan seperti itu memang tak sepenuhnya salah. Namun, rasa-rasanya ada sebuah “pikiran sesat” yang mendasari pemikiran semacam ini. Resiko berlebih sehingga berbuntut rasa khawatir merupakan hasil prasangka negatif yang muncul dari orang-orang yang memang tak serius untuk memulai menghafal. Sehingga mereka merasa jika “resiko dan beban” merupakan suatu hal berat yang merugikan mereka.

Nah, lantas bagaimana seharusnya?

Anggapan itu dapat dipastikan keliru. Sebab jika keyakinan itu dimiliki calon penghafal Al-Qur’an, maka berpagi-pagi saya sampaikan bahwa dia lebih baik tidak meneruskan niatannya untuk menghafal. Sebab nantinya dia akan meremehkan hafalan yang telah dimiliki.

Apabila ia benar-benar memiliki niat yang sahih maka sedari awal ia akan bertekad menjaga penuh hafalannya sebab ia tahu fadhilah dan ketinggian derajat hafalan mereka. Terlepas nanti ketika proses dan tahapan yang dilewati mereka menghadapi masalah seperti halnya luputnya hafalannya, maka hal itu sangat wajar dan bisa ditolerir.

Selaras dengan persoalan ini, semisal ada yang ingin menghafal Al-Qur’an tapi takut nanti tidak bisa istiqomah merawat hafalannya, takut lupa ayat yang dihafalkan, maka disini para ulama menganjurkan untuk tetap menghafalkan Al-Qur’an dengan pertimbangan karena menghafalkan Al-Qur’an jelas berpahala. Sedangkan khawatir akan hilangnya hafalan Al-Qur’an marupakan prasangka yang belum tentu adanya.

Sayyid ‘Abdurrahman Bin Muhammad Al-Masyhur dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin dawuhan,

(مسألة ك) : شخص أمكنه حفظ القرآن العظيم ، وخاف هو ومعلمه تضييعه ونسيانه المنهي عنه ، فالذي يظهر أن الأولى التعلم والتعليم ، والاستعانة بالله تعالى على التوفيق للمنهج المستقيم ، وليس هذا المفاسد ؛ إذ المفسدة هنا غير قاعدة محققة بل متوهمة ، وثواب حفظ القرآن محقق والخير المحقق لا يترك لمفسدة متوهمة.  من بغية المسترشدين

“Ada orang yang mampu menghafal Al Qur’an namun dia dan gurunya khawatir orang itu tidak bisa menjaga hafalannya hingga melupakannya, maka dhahirnya yang lebih utama bagi orang tersebut adalah tetap menghafal dan gurunya tetap mengajarinya serta memohon pertolongan kepada Allah SWT agar diberi taufiq mengikuti jalan yang lurus. Dan kasus ini tidak bisa dimasukan dalam kaidah “mencegah mafsadah/ keburukan (yaitu lupa hafalan yang haram hukumnya)”, karena mafsadah disini tidak nyata, bahkan hanya prasangka saja, sedangkan pahala menghafal Al Qur’an itu nyata, dan kebaikan yang nyata tidak boleh ditinggalkan hanya sebab khawatir akan ada akibat buruk yang belum pasti.” (Bughyatul Mustarsyidin, Maktabah Daril Fikr, hal. 481

Wallahu A’lam Bis Shawwab